Senin, 28 Maret 2011

PRIBUMI DAN NONPRIBUMI

Pribumi atau penduduk asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana. Pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak miliki pribadi).

Dalam masa kolonial Belanda, pribumi dipakai sebagai istilah bahasa Melayu untuk Inlanders, salah satu kelompok penduduk Hindia-Belanda yang berasal dari suku-suku asli Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, penduduk Indonesia keturunan CinaIndiaArab (semuanya dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen), Eropa, maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pengelompokan ini dalam idea tidak rasistis, karena dapat terjadi perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain, tetapi dalam praktek menjadi rasistis karena terjadi pembedaan penempatan dalam publik, perbedaan pengupahan/penggajian, larangan penggunaan bahasa Belanda untuk kelompok tertentu, dan sebagainya.

Di antara penduduk asli terdapat kelompok masyarakat adat, yaitu suku-suku terasing atau suku-suku yang sedang berkembang, bahkan ada suku terasing yang masih menjalani kehidupannya seperti masyarakat Zaman Batu.

pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.

Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia (WNI) adalah:
1)   Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
2)   Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia.
3)   Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
4)   Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
5)   Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
6)   Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.
7)   Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia.
8)   Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
9)   Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
10)Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
11)Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
12)Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
13)Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Adalah satu hal yang cukup menyedihkan bahwa di jaman manusia ber-adab dan 
di negeri berfalsafah PANCASILA, masih tak sedikit orang yang berpandangan 
rasialis. Dan seandainya pandangan-pandangan rasialis demikian ini dibiarkan 
menguasai bumi Nusantara, maka akan hancur-leburlah persatuan Bangsa Indonesia. 
Yang pribumi berhak sewenang-wenang atas yang naas dilahirkan dengan darah 
campuran asing, sebaliknya yang bukan pribumi memandang rendah pribumi, dan 
merasa pribumi bukan kalangannya. 

Hal yang sama terjadi pada hubungan pribumi setempat dengan pribumi transmigran. 
Yaitu, suku Jawa menjadi hanya berhak hidup di Jawa-Tengah dan Jawa Timur 
sebagai "pribumi", karena kalau hidup ditempat/daerah lain mereka akan jadi 
"pendatang" atau "non-pribumi". Suku Sunda juga hanya bisa dan boleh hidup di 
Jawa-Barat, Suku Batak hanya bisa hidup di Sumatra-Utara (Sibolga), sedang 
suku Bugis hanya bisa hidup di Sulawesi-Selatan, dsb. Sedang suku Tionghoa 
yang sudah berabad-abad menetap dan hidup di Indonesia, juga harus diusir 
pulang kampung asal nenek-moyangnya (sekalipun diantara mereka banyak yang 
tidak kenal dan tidak lagi mengetahui dimana kampung asal nenek-moyangnya). 
Juga yang berasal dari turunan India, Arab dan Belanda, belum lagi tentang 
mereka yang berdarah campuran..... Ramai jadinya dan tidak akan menyelesaikan 
persoalan, selain menjatuhkan martabat nama baik Indonesia di mata dunia 
internasional. Pandangan sempit demikian hanya menjurus kepada pecahnya 
Indonesia! Pandangan rasialis demikian bertentangan dengan semboyan negara 
kita "Bhineka Tunggal Eka" yang telah ditegakkan oleh perintis-perintis 
kemerdekaan. 

Bila mengakui bahwa kita semua adalah keturunan Adam dan Hawa, maka kita 
seharusnya mengerti bahwa mempertentangkan "pribumi" dengan "non-pribumi" 
adalah pandangan picik karena kita toh satu leluhur, satu nenek moyang. 
Bila kita memahami sejarah, memandang jauh kebelakang sampai pada masa pra 
sejarah, kita tak akan terperanjat untuk mengetahui bahwa nenek-moyang dari 
yang sekarang bernama "pribumi" itu juga berasal dari daerah lain di daratan 
benua Asia. 
Sebelum mukabumi ini dipetak-petak oleh yang disebut batas negara, sebelum 
manusia dibagi-bagi menjadi berbagai kewarganegaraan, adalah umum manusia 
berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain yang dianggap sesuai untuk 
memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu tak ada yang patut disalahkan ketika 
nenekmoyang kita datang ke Nusantara, sekalipun mungkin ditempat ini sudah 
tinggal kelompok manusia yang lebih 'pribumi' , yang antara lain keturunannya 
adalah suku Kubu di Sumatera Selatan. 
           
Adanya 'bangsa' dan 'rumpun bangsa' yang exodus karena tak mampu mengatasi 
keadaan alam yang semakin kurang menguntungkan, atau karena terdesak oleh 
'rumpun bangsa' lain baik dalam persaingan daerah perburuan maupun dalam 
pertempuran, adalah sesuatu yang wajar, dan sukar diukur dengan pandangan 
hukum dan keadilan pada masakini. Semua sudah menjadi kenyataan yang harus 
diterima oleh generasi sekarang. Kita sudah menjadi penduduk negeri ini, dan 
bumi ini menjadi tanahair kita. Dan tetap adasaja kelompok manusia yang 
berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka adalah pendatang baru. Tetapi 
setelah jangkawaktu tertentu atau generasi berikutnya, mereka adalah juga 
penduduk negeri. Pembauran terjadi dengan tingkat yang berbeda-beda. Penulis 
sendiri juga sudah tak tahu berapa persen campuran darah yang ada dalam badan 
dirinya, tak perlu dirisaukan. Dan yakin bahwa tak seorangpun yang bisa 
menjamin 'kemurnian' darah seseorang, karena ukuran 'murni' pun tak ada. 
Beberapa ratus tahun yang lalu ketika tanahair kita ini mulai dicaplok oleh 
penjajah Belanda, mulailah timbul masalah bangsa yang mencolok antara pribumi, 
orang kulit putih, dan orang Timur-Asing . Pengkotakan begini memang sengaja 
dilakukan oleh penjajah. Celakanya ada kalangan yang berminat mewairisinya, 
puluhan tahun setelah penjajah Belanda terusir.

Kita tidak menyangkal adanya perbedaan antara pribumi dengan non-pribumi, 
sebagaimana juga perbedaan antar suku-suku yang berlainan. Akan tetapi tidak 
seharusnya menitik beratkan persoalan di sini, apalagi mempertentangkan 
"pribumi" dan "non-pribumi" (yang biasa dimaksudkan adalah peranakan Tionghoa). 
Hakekat sesungguhynya bukanlah sebagaimana dinyatakan sementara orang:"non- 
pribumi menjajah pribumi" dan harus diselesaikan dengan "membela pribumi" dan 
melempar "non-pribumi" ke laut. Masalah sesungguhnya ada pada penguasa. 
Pemerintah yang berkuasa sekarang ini adalah pemerintah bobrok yang samasekali 
tidak adil, satu pemerintah yang penuh kolusi dan korupsi, adalah pemerintah 
yang hanya menggendutkan perut segelintir penguasa dengan tidak mempedulikan 
mayoritas rakyat tetap lapar, adalah pemerintah yang memupuk segelintir 
konglomerat, dan membiarkan rakyat banyak tetap papa-sengsara, baik mereka itu 
"pribumi" maupun "non-pribumi"! Oleh karenanya, satu-satunya penyelesaian 
adalah bahwa rakyat Indonesia harus bersatu-padu dan berjuang untuk membentuk 
satu pemerintah yang adil dan bersih! Hanya dengan satu pemerintah yang adil 
dan bersih, semua kita, rakyat Indonesia, baik "pribumi" maupun "non-pribumi", 
tanpa mempersoalkan perbedaan suku , agama, budaya dan asal keturunan, dapat 
bersama-sama, bergotong-royong sekuat tenaga membangun satu masyarakat yang 
benar-benar adil dan makmur.





1. ADAKAH PENDUDUK ASLI INDONESIA

Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.

Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.

Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan.


2. MENGAPA TIMBUL ISU PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

Sebenarnya sangat disayangkan bila terdapat istiah pribumi dan pribumi karena bangsa Indonesia memahami sistem             BHINEKA TUNGGAL IKA            , jika dimasyarakat terdapat isu isu tentang pribumi dan nonpribumi itu dikarenakan pola ikir masyarakat yang masih mengenggap bahwa dirinyalah yang terbaik.
Ada anggapan bahwa warga pribumi itu adalah warga rendahan yang tak pantas disejajarkan dengan warga nonpribumi,warga nonpribumi menganggap rendah dan remeh begitu juga hal sebalikya warga pribumi menganggap bahwa warga nonpribumi tidak berhak untuk tinggal dan menetap diwilayah mereka
Kita tidak menyangkal adanya perbedaan antara pribumi dengan non-pribumi, 
sebagaimana juga perbedaan antar suku-suku yang berlainan. Akan tetapi tidak 
seharusnya menitik beratkan persoalan di sini, apalagi mempertentangkan 
"pribumi" dan "non-pribumi" (yang biasa dimaksudkan adalah peranakan Tionghoa). 
Hakekat sesungguhynya bukanlah sebagaimana dinyatakan sementara orang:"non- 
pribumi menjajah pribumi" dan harus diselesaikan dengan "membela pribumi" dan 
melempar "non-pribumi" ke laut.
Isu pribumi dan pribumi timbul di karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita 


3. SIAPA YANG DIMAKSUD NONPRIBUMI

Yang dimaksud dengan non pribumi adalah seseorang yang asal usul kwarganegaraannya tidak berasal dari negara tersebut, tetapi menurut saya untuk negara indonesia sebenarnya tidak ada yang disebut warga pribumi karena sebenarnya dari nenek moyang warga indonesia adalah para imigran dari bangsa lain seperti bangsa arab, cina, dan negroid, walaupun jika ada bangsa melayu itupun tersebar keberapa negara jadi bangsa melayu pun belum bisa disebut sebagai pribumi di Indonesia.
di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926.  Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu  beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
4. KENAPA ISTILAH NON PRIBUMI YANG MENONJOL HANYA PADA ETNIS TIONGHOA
Kenapa istilahnon pribumi yang menonjol hanya pada etnis tionghoa karena beberapa kasus yang melibat beberapa warga tionghoa seperti:
Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia. 
Bersamaandengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru.Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tihoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP.
5. SARAN UNTUK MENGHILANGKAN ISU PRIBUMI DAN NONPRIBUMI DI INDONESIA
Pada dasarnya negara Indonesia terdiri dari bebrapa suku agama dan ras. Setiap bangsa mempunyai keunggulan dan kelemahan, setiap suku juga mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kita semua harus bisa belajar kelebihan kelompok lain untuk mengatasi kekurangan sendiri, berkompetisi dengan adil untuk kemajuan masyarakat dan kemakmuran bersama. Tak pantas untuk dengki, iri-hati melihat kelebihan dan keberhasilan orang lain dan suku lain, lebih- lebih jangan pula sampai timbul minat-jahat untuk membasmi orang itu atau suku itu yang lebih unggul dari dirinya.
Suku Jawa mempunyai keunggulan, kelebihan dan kekurangan, juga demikian dengan suku Batak, suku Bugis dan suku Tionghoa di Indonesia. Keunggulan suatu suku bukan pula berarti keunggulan setiap perorangan dari suku itu. Tak sedikit peranakan Tionghoa yang menunjukkan keunggulannya di bidang perdagangan
marilah kita, seluruh rakyat Indonesia, bersatu tanpa mempersoal- kan suku yang berbeda, agama yang berbeda dan keturunan yang berbeda, untuk membentuk satu pemerintah yang adil dan bersih! Hanya dengan pemerintah yang adil dan bersih, kita bisa membangun dan mencapai satu masyarakat adil dan makmur! 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar